Metafora dalam Bahasa Jepang dari Perspektif Linguistik Kognitif

Metafora dalam Bahasa Jepang dari Perspektif Linguistik Kognitif

Ilmu Budaya / 2 days ago

Kamis, 25 November 2021, seri ke-2 kuliah umum kembali diselenggarakan oleh Prodi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya. Pada kesempatan ini panitia menghadirkan Prof. IMAI Shinobu dari Universitas Osaka. Acara tersebut dihadiri oleh lebih dari 200 orang peserta dari sivitas akademika Fakultas Ilmu Budaya dan berbagai kalangan lainnya.

Kuliah umum ini dilaksanakan dalam rangka Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya dalam upaya peningkatan rangking Unpad menjadi World Class University.

Prof. IMAI Shinobu adalah akademisi dari Center of Japanese Language and Culture, Universitas Osaka yang memiliki keahlian di bidang penelitian linguistik bahasa Jepang dan linguistik kognitif. Beliau banyak membimbing mahasiswa asing dalam melakukan penelitian di bidang linguistik bahasa Jepang.

Dari hasil pembicaraan dengan para pengajar Prodi Sastra Jepang FIB UNPAD diperoleh data bahwa banyak mahasiswa Prodi Sastra Jepang yang mengangkat metafora sebagai tema skripsi. Oleh karena itu, Prof. IMAI pun memilih tema “Metafora dalam Bahasa Jepang dari Perspektif LInguistik Kognitif” sebagai materi kuliah umum kali ini. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pandangan baru kepada para mahasiswa dalam memahami metafora.

Pada kesempatan itu Prof. IMAI memaparkan bahwa metafora dari perspektif linguistik kognitif memiliki perbedaan dengan metafora konvensional yang selama ini kita pahami. Selama ini kita hanya memahami metafora sebagai salah satu gaya bahasa yang digunakan untuk menghias atau mempercantik suatu ungkapan, sedangkan dalam perspektif linguistik kognitif, metafora dipandang sebagai suatu mekanisme kognitif manusia yang menjadi salah satu pondasi dalam ungkapan-ungkapan berbahasa sehari-hari.

Sebagai contoh metafora dalam linguistik kognitif adalah ungkapan “suara tinggi” dan “memakan waktu”. Ungkapan “suara tinggi” dalam konteks ini merujuk pada suara soprano perempuan dan/atau suara tenor laki-laki meskipun kita tahu bahwa kata “tinggi” di sini tidak merujuk pada posisi melainkan pada frekuensi. Begitu pula dengan ungkapan “memakan waktu”, kita memahami bahwa makan adalah memasukan sesuatu (makanan) ke dalam mulut, kemudian mengunyah dan menelannya. Namun, dalam konteks ini kata “memakan” merujuk pada menghabiskan sesuatu yang bersifat abstrak. Kita masih sulit mencari padanan ungkapan-ungkapan tersebut ke dalam bentuk lainnya sehingga kita selalu cenderung menggunakan metafora tersebut untuk menunjukkan fenomena yang dimaksud. 

Meskipun ungkapan-ungkapan mendasar dalam kehidupan sehari-hari ini menjadi kajian utama metafora dalam linguistik kognitif, namun akhir-akhir ini muncul tren untuk meneliti ungkapan metafora konvensional dari perspektif linguistik kognitif.

Pada penghujung kuliah umum ini muncul beberapa pertanyaan yang menarik berkaitan dengan metafora secara khusus maupun linguistik kognitif secara keseluruhan. Kuliah umum ini pun sangat membantu mahasiswa Prodi Sastra Jepang yang sedang menyusun skripsi dalam memahami konsep metafora dalam linguistik kognitif.

Penulis: Samsul Maarif