Memahami Konflik Israel-Palestina Melalui Perspektif Psikologi Politik

Memahami Konflik Israel-Palestina Melalui Perspektif Psikologi Politik

Ilmu Budaya / Mei 23, 2024

Jatinangor, 23 Mei 2024 – Kuliah umum “The Current Situation of the Israel-Palestinian Conflict: From the Perspective of Political Psychology” telah dilaksanakan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Fapsi Unpad) secara hibrid di Ruang Sidang S-3 Gedung 1 Fapsi Unpad, Jatinangor, Sumedang, pada Selasa (21/5). Kegiatan ini mendapatkan atensi dari beberapa Fakultas Unpad, salah satunya Fakultas Ilmu Budaya (FIB).

Dalam kuliah umum ini, Fapsi Unpad mengundang Mantan Duta Besar Indonesia (salah satunya untuk Uni Eropa, Belgia, dan Luxemburg) sekaligus alumni Fapsi Unpad, Nadjib Riphat Kesoema. Kegiatan ini dibuka oleh Koordinator mata kuliah Psikologi Politik Fapsi Unpad, Dr. Zainal Abidin , M.Si.

Sebagai pembuka, Zainal mengatakan bahwa kuliah umum ini diselenggarakan secara rutin dalam empat tahun terakhir. Ia juga mengatakan bahwa baru setahun yang lalu, Fapsi Unpad mulai memanggil ahli untuk hadir dalam kuliah umum ini, salah satunya ahli yang berkaitan dengan kebijakan internasional.

Selanjutnya, Nadjib menyampaikan materi mengenai konflik antara Israel dan Palestina dari sudut pandang psikologi politik serta catatan sejarah. Ia menegaskan bahwa saat ini, konflik Israel-Palestina merupakan masalah kemanusiaan yang luar biasa dan bukan masalah yang sepele.

Duta besar yang juga anggota Majelis Wali Amanat Unpad tersebut menjelaskan bahwa analisis konflik dan menciptakan perdamaian melalui studi kepribadian (study of personality) dapat menggunakan sudut pandang psikologi politik yang berfokus pada dampak kepemimpinan dan kepribadian tokoh kunci terhadap pengambilan keputusan, serta konsekuensi dari kepribadian massa terhadap batas-batas kepemimpinan. Selain itu, analisis juga dapat dilakukan melalui pendekatan kepribadian kunci (key personality) dalam psikologi politik.

Nadjib memaparkan bahwa psikologi politik membahas mengenai penjelasan perilaku politik, mulai dari perilaku politik yang familier hingga perilaku politik yang tampaknya tidak dapat dipahami.

Dalam psikologi politik, setiap bangsa memiliki kepribadian dan tidak hanya terbatas oleh individu saja. Kepribadian bangsa tersebut paling tampak dari tokoh kunci atau pemimpin dari sebuah bangsa, meskipun kepribadian bangsa ditunjukkan oleh seluruh masyarakat. Nadjib memaparkan bahwa tokoh kunci dan pemimpin tersebut akan memberikan “mass personality” seperti personality dari banyak orang.

Terdapat juga keyakinan bersama tentang suatu bangsa tertentu yang memiliki ciri kepribadian yang khas, di mana hal ini bisa juga disebut sebagai karakter nasional atau stereotip nasional, atau bahkan kepribadian nasional. Suatu bangsa (bahkan suku-suku bangsa) memiliki stereotip tertentu.

“Itu (stereotip nasional) merupakan gambaran karakter,” tambah Nadjib.

Pendekatan yang digunakan ketika menganalisis konflik adalah collective politicized identity. Collective politicized identity merupakan pendekatan psikologi politik yang terhubung dengan tiga konsep, yaitu collective identity (pemberian nama terhadap sesuatu), power struggle (perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan), serta kompleksitas konteks sosial dan kemanusiaan yang lebih luas daripada sekadar perjuangan kekuasaan.

“Banyak teori psikologi politik dari manapun yang bisa kita masukkan untuk mendekati permasalahan ini (konflik Israel-Palestina). Tapi, saya ingin mengetuk hati kita, ingin kita melihat bahwa ini adalah permasalahan manusia yang luar biasa, tragedi kemanusiaan yang luar biasa sedang terjadi,” jelas Nadjib.

Rekonsiliasi psikologi juga penting dalam mengatasi suatu konflik. Aspek rekonsiliasi psikologi memerlukan perubahan dalam etos konflik. Ia menjelaskan bahwa kita harus memegang jiwa dari konflik dan melihat ke dalamnya mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Lebih lanjut, Nadjib mengatakan bahwa dalam rekonsiliasi psikologi, seseorang juga perlu menghormati keyakinan masyarakat, di mana keyakinan-keyakinan dari kelompok itu harus dibedah dan dilihat secara jelas. Nadjib juga mengatakan bahwa pembentukan etos perdamaian juga diperlukan dengan mengganti konflik yang sudah mengakar di dada dengan etos perdamaian.

Selain itu, Ia juga menjelaskan bahwa terciptanya perdamaian dan resolusi konflik merupakan kontribusi utama dari psikologi politik dan dapat dilakukan melalui pemanfaatan budaya dialog berbasis objektif, pendekatan secara tepat dan bijaksana dalam semua bentuk polarisasi, memitigasi langkah bersama untuk mengatasi akar permasalahan, serta menyadarkan pemimpin kelompok yang bertikai.

Red : Yohanes William Ivakdalam