Mahasiswa Unpad Uji Efektivitas dan Literasi Budaya Sunda padaKeluarga Amalgamasi di Kota Bandung
Bandung, Jawa Barat — Bahasa daerah merupakan salah satu identitas yang dimiliki oleh masing-masing suku di Indonesia. Tidak jarang ditemukan pula suku yang memiliki sub suku dengan bahasa dan dialek yang berbeda. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya dengan bahasa daerahnya di dunia.
Bahasa Sunda merupakan salah satu bahasa daerah yang menjadi identitas masyarakat suku Sunda. Pada kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di sekolah-sekolah dalam provinsi Jawa Barat, bahasa Sunda menjadi salah satu bahasa yang tidak tertinggal. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kecanggihan teknologi informasi penggunaan bahasa Sunda menjadi jarang dan justru cenderung digantikan dengan bahasa nasional dan internasional. Tidak jarang, hilangnya penggunaan bahasa daerah juga dipelopori karena pernikahan campur suku.
Berangkat dari fenomena pernikahan campur suku atau biasa dikenal dengan keluarga amalgamasi, sejumlah mahasiswa Universitas Padjadjaran yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM RSH) tergerak untuk melakukan riset lebih dalam terkait penggunaan Bahasa Sunda dalam keluarga amalgamasi di wilayah Bandung, Jawa Barat. Tim yang sukses mendapatkan pendanaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tahun 2024 ini, terdiri dari 5 orang mahasiswa rumpun sosial humaniora, yaitu Ikmalludin (Ilmu Budaya), Henhen Hendayeni (Ilmu Budaya), Salman Ramdan Rachman (Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), Salsabil Qodrunnada (Ilmu Hukum), dan Shelvi Nur Awaliyah (Ilmu Komunikasi), serta dibimbing oleh Dr. Taufik Ampera, M. Hum, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Ikmalludin mengatakan bahwa riset yang dilakukan oleh timnya tersebut bertujuan untuk menguji pengasuhan dalam keluarga yang berbasis budaya sekaligus literasi budaya individu.
“Riset ini menguji efektivitas etnoparenting (pengasuhan berbasis budaya) dan literasi budaya (pemahaman seseorang dalam memposisikan dirinya sebagai bagian dari Indonesia yang beragam) dalam mempertahankan vitalitas bahasa Sunda di Kota Bandung”, ujar Ikmalludin.
Selain itu, dirinya juga menjelaskan alasan timnya memilih Kota Bandung pada risetnya ini. Hal tersebut ternyata tidak terlepas dari eksistensi Kota Bandung yang merupakan kota besar di wilayah Jawa Barat dengan mobilisasi budaya dan ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, metode campuran (mixed methods) dengan kuota sampling dipilih sebagai metode dan teknik pemilihan sampel oleh riset tim Ikmalludin. Adapun beberapa kriteria informan yang dipilih oleh tim ini, yaitu keluarga atau pihak yang menikah antar suku Jawa dan Sunda, memiliki anak yang telah mengenyam pendidikan minimal Sekolah Dasar, dan berdomisili di Kota Bandung.
Dari riset yang dilakukan oleh tim ini, hasil justru menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga dalam upaya pewarisan bahasa daerah, khususnya bahasa Sunda, sangat minim. Hal ini miris sebab keluarga yang idealnya berfungsi sebagai sekolah pertama seorang anak justru tidak mewariskan kekayaan budaya bangsa dengan mengajarkan bahasa daerah. Anak hanya belajar dan berlatih bahasa daerahnya di lingkungan sekitar dan sekolahnya saja.
Dr. Taufik berpendapat bahwa fenomena tergantikannya bahasa daerah menjadi bahasa nasional di lingkungan keluarga telah terjadi pada keluarga amalgamasi lain, seperti pernikahan antara Suku Sunda dan Suku Batak.
“Sebetulnya, jika dibandingkan dengan pernikahan Suku Sunda dengan suku lain pun, seperti misalnya Batak terdapat beberapa persamaan. Hanya saja mungkin perbedaannya bisa dilihat dari segi naming, misalnya penamaan anak. Namun, untuk penggunaan bahasa di keluarga kebanyakan netral alias menggunakan bahasa Indonesia,” ungkapnya.
Sejatinya upaya pewarisan kekayaan budaya bangsa, seperti bahasa daerah sudah menjadi tanggung jawab bersama. Keluarga yang hakikatnya merupakan pranata sosial terkecil dalam masyarakat hendaknya mampu menjalankan fungsinya sebagai pendidik bagi keturunannya. Dengan demikian, bahasa daerah mampu tetap eksis di tengah modernisasi dunia.
Red : Maria Imanuella Dewi Sekartaji