Pesona Nama Orang Baduy (Tulisan Prof. Cece Sobarna di Kompas.com)
BERBICARA tentang Baduy, seakan-akan tidak akan ada habisnya. Selain lingkungannya yang masih alami, juga adat istiadatnya yang unik dan memesona.
Masyarakat Baduy termasuk yang masih kuat memegang tradisi sekalipun penetrasi budaya luar memengaruhinya secara masif.
Ketaatan pada tradisi ini setidaknya tercermin pula dalam pemberian nama orang (proper name).
Sementara itu, masyarakat Sunda lainnya sudah hampir kehilangan identitas dirinya sebagai orang Sunda.
Selisik saja, apakah pemilik nama khas Sunda seperti nama penulis masih ada pada generasi muda (alfa) Sunda saat ini ataukah nama itu sudah “punah”? Kalaupun ada, mungkin hanya beberapa orang dari seluruh penjuru masyarakat penutur bahasa Sunda di muka bumi ini!
Ihwal nama, memang sebagian dari kita sedang menuju kondisi kritis. Padahal, nama jelas-jelas merupakan bagian dari identitas dan sekaligus eksistensi suatu etnik.
Sebagai masyarakat yang melek literasi budaya, tentu hal ini harus menjadi pemikiran bersama, jika tidak ingin Sunda hanya tinggal sebuah nama nantinya! Bagi sebagian orang, mungkin nama tidaklah begitu berarti, what is in a name? Namun, harus diingat bahwa nama menjadi bagian penting dalam rentang kehidupan seorang manusia untuk mengidentifikasi dirinya.
Nama merupakan properti (Rais dkk., 2008) yang pertama kali diberikan oleh orang tua dan melekat terus sepanjang hayat. Bahkan, sampai meninggal pun nama tidak akan hilang. Orang yang banyak jasanya akan terus dikenang dan disebut-sebut namanya. Konvensi budaya yang linguistis
Pemberian nama orang merupakan peristiwa budaya yang universal. Setiap masyarakat memiliki konvensinya. Masyarakat Baduy menempuh tiga cara.
Pertama, upaya melalui impian seorang sesepuh yang biasa dimintai pertolongan untuk memberi nama. Jika tidak kunjung mendapat pituduh ‘petunjuk’, sesepuh akan menyiapkan beberapa nama alternatif.
Kedua, pemberian nama dilakukan dengan menyesuaikan hari kelahiran, misalnya jika lahirnya hari Rabu, si bayi akan diberi nama Rebo.
Ketiga, pertimbangan linguistis dilakukan dengan mengambil sebagian nama dari orangtuanya. Anak perempuan akan mengambil dari nama ayahnya, sedangkan anak laki-laki dari ibunya.
Bagian nama yang diambil itu biasanya suku kata awal. Misalnya, anak perempuan yang bernama Arsunah, Calinah, Sani memiliki hubungan dengan suku awal nama ayahnya, Ardi, Caiwin, Sadi.
Begitu pula dengan nama anak laki-laki, Caikin, Sarda, Taki diambil dari suku awal nama ibunya, Caiah, Sarti, Taci. Intinya, harus ada keterkaitan walaupun hanya satu huruf.
Pemberian nama anak pertama ini menentukan panggilan kepada orangtuanya, yaitu dengan menambahkan ayah dan ambu di depan nama si anak (Ayah Sani, Ambu Sani).
Panggilan baru ini akan terus digunakan dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan sampai ada orangtua yang lupa pada nama aslinya sendiri.
Bersifat sakral Nama yang diberikan kepada seorang anak bukanlah asal-asalan, melainkan hasil “kontemplasi” selama tiga hari tiga malam. Oleh karena itu, pemberian nama bagi masyarakat Baduy merupakan peristiwa yang sakral karena melewati beberapa tahapan ritual.
Pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi (tujuhna), orangtua mendatangi sesepuh untuk meminta nama yang cocok sambil menyerahkan seupaheun berupa daun sirih, pinang, dan gambir yang diletakkan di tengah kain putih persegi empat, lalu dilipat berbentuk tas jinjing supaya bisa digendong. Setelah mendapat petunjuk dari karuhun, ketika si orangtua bayi datang lagi, sesepuh menyampaikan nama yang diperoleh dari impiannya tersebut.
Selanjutnya, setelah bayi mendapatkan nama, ritual peureuhan ‘selamatan pemberian nama’ pun dilaksanakan dengan mengundang para kerabat dan tetangga. Pada acara peureuhan ini, hal yang wajib ada adalah seupaheun tadi, yang ditaruh di atas bokor untuk disajikan dan dimakan bersama oleh para tetua kampung. Setelah acara pokok selesai (makan sirih), selanjutnya tetamu menyantap hidangan.
Acara peureuhan ini cukup meriah karena dihadiri pula oleh pemuda-pemudi. Bernilai filosofis Adakalanya juga nama yang diberikan tidak cocok. Misalnya, si bayi cecegékan, yaitu sering menangis, sering cedera, sakit-sakitan, bahkan meninggal dunia. Untuk mengatasinya dilakukan cara seolah-olah bayi itu “dibuang” ke paraji (dukun beranak) untuk di-pulung ‘diambil, dipungut’.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di Baduy banyak orang yang bernama Pulung. Bahkan, lebih ekstrem lagi ada orang yang bernama Runtah atau Cudih ‘sampah’. Hal ini tentu saja menyangkut kepercayaan masyarakat Baduy sebagai upaya menghindarkan “gangguan” pada si bayi.
Pengambilan sebagian nama pada anak dari orangtua dan pemberian silang secara jenis kelamin anak ini pun tidak terlepas dari unsur kepercayaan. Konsepsinya, suku kata pertama ayah/ibu yang digunakan pada anak perempuan/laki-laki ini dapat diturunkan seutuhnya (Arbi–Arni), sebagian atau berubah (Tardi–Talci), ataupun mengalami pelesapan (Karni–Arji).
Penggunaan suku kata pertama ayah yang diturunkan pada anak perempuan, begitu pula sebaliknya ibu pada anak laki-laki, pada prinsipnya mengandung nilai filosofis bahwa ayahlah yang harus melindungi anak perempuannya dan anak laki-lakilah yang harus melindungi ibunya.
Penulis : Cece Sobarna, Guru Besar linguistik Universitas Padjadjaran dan anggota Masyarakat Linguistik Indonesia
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Pesona Nama Orang Baduy “, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/04/162958265/pesona-nama-orang-baduy?page=all#page2.
Editor : Egidius Patnistik
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Editor : Egidius Patnistik